Nggak kerasa sudah dua bulan lebih gue ikut training bahasa Jepang (gratis, catat, G R A T I S) dari Revo Community, dalam program bernama Asean Recruiting Project, walah kece banget namanya. Yang kalo gue boleh nebak itu semacam suatu lembaga yang menyalurkan tenaga kerja asing, dalam hal ini dari beberapa negara asean ke negara tujuan yaitu jepang.
Nah, sebelum kandidat ini di seleksi untuk bisa masuk ke perusahaan jepang, maka wajiblah di training agar bisa bahasa jepang, yaitu minimal memegang sertifikat JLTP N4 (level conversation)
Terhitung sudah beberapa kali gue mengikuti ujian, sebut saja:
- ujian dasar hiragana dan katanaka (2 kali)
- ujian tenses (3 kali)
- ujian kanji (3 kali)
total 8 kali dalam kurun waktu 2 bulan 1 minggu belum termasuk hapalan kaiwa (percakapan) yang diuji secara random. Yah kalau dirata-rata, bisa dibilang tiap minggu ujian deh (waktu tulisan ini di edit, 29 maret bahkan udah nambah dua ujian lagi dan besok udah punya utang supichi alias speech di depan kelas hahaha)
Yah walaupun gue hanyalah anak yang biasa biasa saja bahkan bisa dibilang cenderung kurang di kelas, gue tetap cukup bersemangat untuk datang setiap sorenya. 5 kali dalam seminggu selama masing-masing kurang lebih 1-3jam mendengar, mencoba berbicara, membaca dan menulis dengan bahasa asing yang hurufnya juga asing rupanya memberikan pengalaman tersendiri.
Maklum aja, selama inikan gue (dan kebanyakan dari kita) pakenya bahasa ibu, selain itu paling-paling bahasa Inggris mixed waktu sekolah, lalu les bahasa Chinese yang cuma 1-2kali seminggu, belum ada yang seintens ini (dan guepun ga kuliah jurusan sastra negara tertentu)
Walaupun gue susah fokus dikelas, banyak nanya tetangga kanan kiri, nilai ujian jeblok, hobi bengong di kelas, tapi training ini mengajarkan banyak hal lebih dari sekadar belajar bahasa
1. 1.
Membuat gue menjadi lebih giat dan pantang
menyerah
Gimana nggat giat. Materi seabrek meliputi
puluhan kosakata yang harus dihapal setiap harinya, tenses yang agak sulit
dipahami (nggak kaya bahasa inggris yang lumayan jelas aturannya), dan kanji
lucu-lucu yang juga harus dihapal minimal cara membaca plus artinya; beat
pembelajaran yang super cepet; plus emang gue kagak ada keturunan jepang sama
sekali (you dont say) mau nggak mau membuat gue menjadi lebih giat (versi gue).
Gue yang seumur sekolahnya jaraaaaaaaang banget belajar, palingan ngerjain
tugas doang itupun selalu SKS atau Sistem Kebut Beberapa Jam, mendadak jadi
suka buka-buka buku, melototin kanji, mikir-mikir lucu setiap malemnya, setiap
ke warteg dan setiap ke WC (oke ini lebay). Udah gitu, nilai gue masih juga
dapet 19!! (Nilai maksimum 50) Huahahaha inilah kenapa gue bisa bilang “pantang
menyerah”!!
2.
2. Membuka ruang baru untuk pergaulan
Harus diakui, hidup sebagai makhluk tingkat
akhir membuat circle pertemanan gue semakin kecil. Beda sama waktu maba dulu
yang bisa dengan mudah berteman dengan siapa saja dan darimana saja. Temennya
si ini, temen temen temennya si ini, hajar. Tapi sekarang, mungkin circle dekat
gue bisa dihitung pakai jari. Lu lagi lu lagi. Dengan ikut kelas ini, gue jadi
ketemu dengan banyak orang baru, belajar bersosialiasi lagi, dapet lingkup yang
berbeda dari yang biasanya gue hadapi. Lumayan membuat segar, tidak hanya
karena subjeknya tapi juga karena materinya yang “diluar” dari kancah
pembelajaran formal gue yang ipa banget. Selain itu, dikelas sering muncul
celetukan-celetukan yang sering bikin ngakak (orang jepang suka bikin kata-kata
aneh-aneh sih)
3. 3.
Memberikan kesempatan untuk belajar langsung
dari orang jepang
Bukan hanya tentang materi pelajaran tapi juga tentang sikap
dan sifat. Yang ini kayaknya perlu diceritain tersendiri. Hehehe
Ya, itu tadi sekelebat suka duka gue dari les yang sudah gue
jalanin rutin selama 2 bulan terakhir ini, mudah-mudahan gue dan teman-teman
bisa betah dan berjuang hingga titik darah penghabisan. Ganbarimasu minna san!
No comments:
Post a Comment