Ia terus menyapu kelas ini. Menggeser bangku dan meja meja besar. Menyapu lantai dari serpihan debu-debu abu-abu.
Lima belas menit yang lalu kelas ini begitu kotor. Maklum saja halaman luar
sekolah ini adalah tanah hitam keras timbunan dari perusahaan batubara.
Sepatu anak-anak (bagi mereka yang bersepatu) tentulah membawa
butir-butir debu masuk ke dalam kelas. Tapi lihatlah sekarang. Sudah
jauh lebih baik. Gue tidak betah mengajar dalam kondisi seperti ini.
Jadilah gue mengambil sapu dan mulai membersihkan kelas.
Tiba-tiba
seorang anak perempuan ikut mengambil sapu (gue kira semua anak sudah
pulang, ternyata ia belum). Katanya "aku mau bantu kakak". Mengajar
murid kelas tiga yang super duper aktif, meladeni panggilan dan teriakan
mereka satu demi satu, mengejar mereka ke sana ke mari, sungguh
menguras tenaga. Tapi lihatlah, anak ini meringankan sedikit
pekerjaan gue siang ini.
Gue memberinya sepotong lagi kertas origami. Bahkan bukan
sepotong, itu seperempat. Gue menuliskan namanya "Farida". Ia
menerimanya dengan muka berbinar. Ia melepaskan double sided tape di belakang
origami, lalu menempelkannya di tasnya. Lalu ia tersenyum memandang
tasnya. Tas kembar anggaran dari kabupaten, dibagi waktu tahun ajaran
baru kelas dua yang lalu. Seperempat potong lagi origami masih menempel
di saku kanannya, dari kelas hari ini. "Ayo kak kita pulang bersama"
**
"Kakak punyaa.... ini!"
Seisi kelas hening
"Apa tu kaaak?"
"Ini namanya name tag, kalian tulis nama kalian disitu supaya kakak bisa panggil nama kalian semuanya ya"
Seisi kelas hening
"Apa tu kaaak?"
"Ini namanya name tag, kalian tulis nama kalian disitu supaya kakak bisa panggil nama kalian semuanya ya"
Mereka tak sabar menerima name tag mereka, dari kertas
origami yang di bagi 4. Diberi selotip 2 sisi. Ada yang minta tukar
warna, katanya tidak suka warna itu. Baiklah, kami sudah menyiapkan
banyak. Mereka begitu antusias, padahal tidak semua dari mereka mampu
menuliskan nama mereka sendiri. Belum selesai aku membagikan kertas,
rupanya mereka sudah berebut di meja guru minta dituliskan nama mereka
dengan spidol besar. Juga berebut minta dilepaskan double sided tapenya. Oh
ya, rupanya mereka baru sekali melihat selotip dengan dua sisi seperti
itu. Ada Indah di sana, teman mengajar gue hari ini. Ada yang berulang
kali memastikan posisi peletakan nametagnya sudah benar dan sedap
dipandang mata "Kak Fitri, benar sudah ini ku pasang di sini?"
Sepotong kertas kecil yang bagi kita, bagi anak-anak
ibukota hanyalah hal sepele belaka. Orang tua mereka bisa membelikan
mereka satu dus besar origami jika mereka mau. Tapi bagi anak-anak di
desa ini ternyata bisa menjadi suatu hal yang begitu berharga. Gue tidak
mampu lagi melukiskan perasaanku ketika di jalan pulang melihat
anak-anak itu bermain dengan name tag yang sudah agak lusuh masih menempel di
baju rumah mereka. Sebegitu spesialnya kah?
Hari ini gue memang mengajar anak-anak. Tapi anak-anak
mengajari ku jauh lebih banyak, dan dalam. Gue belajar dari sepotong
origami, secuil double sided tape dan seulas senyum anak-anak Borneo. Mengajari
ku bahwa meresapi rasa syukur hanyalah bergantung dari cara kita
memandang sesuatu. Memandang dari sudut pandang orang yang congkak kah?
Dari sudut pandang orang yang serakah kah? Atau memandang dari sisi
hamba-Nya yang datang tanpa membawa apa-apa dan juga akan pulang tanpa
membawa apa-apa.
No comments:
Post a Comment