So here is the story...
---
“Wahai langit biru yang bersanding dengan putih awan,
pada siapakah rindu ini harus ku titipkan”
Gue pikir rindu ini akan hilang dengan menelepon anak-anak. Setidaknya bisa
berkurang setengah, seperempat, atau minimal seperdelapan. Ternyata gue
salah. Rindu ini semakin menjadi berlipat ganda ketika mendengar suara
mereka. Namanya Rio, murid kelas 6 SDN 004 Malinau Selatan. Pada
pertemuan pertama, gue mengira bahwa dia adalah anak yang cool dan tidak
banyak bicara. Setelah mengenal lebih jauh, rupanya dia sangat lucu.
Seringkali ia terlalu polos hingga tak jarang mengundang tawa. Hampir
satu bulan sudah gue tidak mendengar maupun mendapat kabar tentangnya.
Setelah mencoba semalaman, pagi ini, akhirnya telepon itu tersambung juga.
Desa Langap berada di Kecamatan Malinau Selatan, berjarak sekitar
70 km dari Kabupaten Malinau. Desa ini memiliki akses jaringan seluler
yang cukup sulit, entah apa yang menjadi penyebabnya. Padahal BTS hanya
berjarak sekitar 3 km dari area rumah penduduk. Ketika gue dan tim mengabdi di
sana beberapa saat agustus lalu, kebetulan kami tinggal di posko yang
sinyalnya muncul hilang alias timbul tenggelam. Bagi gue yang terbiasa
hidup di kota metropolitan, awalnya beradaptasi dengan hal ini adalah
perkara yang cukup sulit. Jangankan akses internet, untuk mengirim sms
saja harus menunggu tengah malam, kata orang-orang mungkin jalurnya
rebutan. Pada awal kedatangan, gue menyimpan rasa heran dengan banyaknya
orang yang duduk diam di pinggir jalan, sembari menatap lurus pada
semak-semak atau rumah yang ada di hadapan mereka. Gue kira itu semacam
ritual. Ternyata mereka sedang menelpon. Itu karena untuk mendapatkan
sinyal yang layak, mereka harus keluar rumah dan pergi ke jalan agar
suara dapat terdengar jelas oleh orang di seberang telepon.
Pikiran
ini mendadak melayang jauh. Mundur ke bulan Agustus 2014. Bisa
dikatakan bahwa itu adalah bulan terbaik dalam hidupku. Gue merasa ini seperti suatu perjalanan
demi menemukan potongan yang kurang dalam hidup gue; merasa bermafaat bagi
sesama. Gue menjadi manusia eight to five, bahkan lebih. Bukan menjadi
pegawai kantoran di bilangan Sudirman, tapi pergi ke Desa Langap bersama
tujuh orang luar biasa lainnya, mengabdi pada negeri, sebisa dan
seikhlas mungkin. Setiap pagi membasuh wajah dengan air yang tidak
bisa seketika membuat wajah bersih. Bukannya membuat segar dan berseri,
air yang ada justru membuat badan licin dan harus dibilas berkali-kali.
Tapi kami tidak memiliki pilihan lain.
Itulah akses air yang dimiliki
oleh sebagian besar warga Desa Langap. Air berasal dari mata air gunung
yang dalam perjalanan menuju rumah warga terpaksa bercampur dengan
limbah dari tambang batubara. Itupun hanya mengalir setiap 3 hari sekali
sehingga kami harus memutar otak agar persediaan air dapat mencukupi.
Pernah suatu hari air tak kunjung mengalir, padahal sudah lebih dari 5
hari sejak terakhir desa kami dialiri air.. Kami bingung, panik tidak
tau harus berbuat apa. Fasilitas listrik pun tidak jauh berbeda. Listrik
menyala pada pukul 6 sore hingga 6 pagi. Pernah juga dalam jangka waktu
6 hari listrik tak kunjung menyala. Warga mengatakan pada kami bahwa
instalasi listrik mengalami masalah dan ada sparepart yang harus
diganti dan dipesan dari Surabaya. Maka tidak ada pilihan lain selain
membiarkan gadget kami mati dan bergantung pada temaram cahaya lilin.
Tiba-tiba gue merasa malu pada diri sendiri. Di sini, di kota besar ini,
semuanya serba tersedia. Ketika membuka mata gue bisa menghubungi siapa
saja melalui handphone, tanpa perlu memikirkan apakah ada sinyal ataupun
listrik. Lalu bisa pergi ke kamar mandi, memutar keran dan voila!
tersedia air bersih yang berlimpah. Tapi diri ini masih sering kali
malas untuk pergi ke kampus. Padahal sudah ada dosen dengan kualitas
terbaik yang menunggu di kelas. Dari telepon pagi ini aku mendapatkan
kabar bahwa tidak ada guru di kelas 6. Padahal pagi itu jam sudah
menunjukkan pukul 10.
Tetapi lihatlah, anak-anak itu tetap semangat belajar
memanggul tas kembar masing-masing, tas ransel sumbangan dari Kabupaten
Malinau. Ada yang seragamnya berbeda dari yang lain karena seragam yang
seharusnya telah hilang. Ada yang seragamnya berwarna kuning kotor
karena kurang diperhatikan orang tuanya. Ada pula yang bertelanjang kaki
menerjang panasnya aspal jalanan desa. Namun senyum tulus dan bahagia
tetap terpancar di wajah polos mereka. Selepas lonceng pulang berbunyi
pukul 12 mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing dan berganti
pakaian bebas, berjalan beriringan masih dengan menggendong tas kembar
mereka. Sambil tertawa-tawa, berjalan kembali ke arah sekolah di tengah
teriknya matahari Kalimantan yang luar biasa, tidak peduli sudah makan
siang atau belum. Mereka mengatakan ingin pergi les, mau diajar les oleh
kakak-kakak K2N Jakarta. Kami yang saat itu masih menikmati makan siang
sambil duduk-duduk di warung makan sembari sesekali mengeluh “capek”
dan “panas” terenyuh mendengar jawaban mereka. Kami bukan apa-apa.
Langkah
ceria anak-anak itu terbayang lagi. Berganti dengan bayangan mata sendu
murid kelas enam, kelas lima, juga kelas empat, juga kelas tiga, satu
dan dua. Rupanya semua murid menangis, juga para guru. Berat melepas
kami yang akan kembali ke Jakarta. “Kapan kakak kembali?” Pertanyaan
yang sampai sekarang belum mampu gue jawab. Hanya menyeka air mata di
pipi mereka yang bisa gue lakukan, padahal air mata gue sendiri sudah
berlinang. Terkadang gue benci hidup dalam kepastian seperti ini.
Kepastian bahwa gue tidak akan bisa kembali bertemu mereka lagi.
Terkadang gue ingin hidup dalam pengharapan, pengharapan bahwa kami bisa
kembali ke sana, membangun semangat mereka lagi, semangat anak-anak SDN
004 Malinau Selatan.
P.S: Semoga cerita ini akan terus berlanjut dan tak berhenti sampai di sini
Fitriani, September 2014
Juga diposkan di http://coretanpejalan.blogspot.com "Menyesap Rindu di Pedalaman Borneo"
No comments:
Post a Comment