Saturday 6 December 2014

Perjalanan Mata Hati: Cerita Sepotong Origami

Ia terus menyapu kelas ini. Menggeser bangku dan meja meja besar. Menyapu lantai dari serpihan debu-debu abu-abu.

Lima belas menit yang lalu kelas ini begitu kotor. Maklum saja halaman luar sekolah ini adalah tanah hitam keras timbunan dari perusahaan batubara. Sepatu anak-anak (bagi mereka yang bersepatu) tentulah membawa butir-butir debu masuk ke dalam kelas. Tapi lihatlah sekarang. Sudah jauh lebih baik. Gue tidak betah mengajar dalam kondisi seperti ini. Jadilah gue mengambil sapu dan mulai membersihkan kelas. 

Tiba-tiba seorang anak perempuan ikut mengambil sapu (gue kira semua anak sudah pulang, ternyata ia belum). Katanya "aku mau bantu kakak". Mengajar murid kelas tiga yang super duper aktif, meladeni panggilan dan teriakan mereka satu demi satu, mengejar mereka ke sana ke mari, sungguh menguras tenaga. Tapi lihatlah, anak ini meringankan sedikit pekerjaan gue siang ini.

Gue memberinya sepotong lagi kertas origami. Bahkan bukan sepotong, itu seperempat. Gue menuliskan namanya "Farida". Ia menerimanya dengan muka berbinar. Ia melepaskan double sided tape di belakang origami, lalu menempelkannya di tasnya. Lalu ia tersenyum memandang tasnya. Tas kembar anggaran dari kabupaten, dibagi waktu tahun ajaran baru kelas dua yang lalu. Seperempat potong lagi origami masih menempel di saku kanannya, dari kelas hari ini. "Ayo kak kita pulang bersama"

**



"Kakak punyaa.... ini!"
Seisi kelas hening
"Apa tu kaaak?"
"Ini namanya name tag, kalian tulis nama kalian disitu supaya kakak bisa panggil nama kalian semuanya ya"

Mereka tak sabar menerima name tag mereka, dari kertas origami yang di bagi 4. Diberi selotip 2 sisi. Ada yang minta tukar warna, katanya tidak suka warna itu. Baiklah, kami sudah menyiapkan banyak. Mereka begitu antusias, padahal tidak semua dari mereka mampu menuliskan nama mereka sendiri. Belum selesai aku membagikan kertas, rupanya mereka sudah berebut di meja guru minta dituliskan nama mereka dengan spidol besar. Juga berebut minta dilepaskan double sided tapenya. Oh ya, rupanya mereka baru sekali melihat selotip dengan dua sisi seperti itu. Ada Indah di sana, teman mengajar gue hari ini. Ada yang berulang kali memastikan posisi peletakan nametagnya sudah benar dan sedap dipandang mata "Kak Fitri, benar sudah ini ku pasang di sini?" 

Sepotong kertas kecil yang bagi kita, bagi anak-anak ibukota hanyalah hal sepele belaka. Orang tua mereka bisa membelikan mereka satu dus besar origami jika mereka mau. Tapi bagi anak-anak di desa ini ternyata bisa menjadi suatu hal yang begitu berharga. Gue tidak mampu lagi melukiskan perasaanku ketika di jalan pulang melihat anak-anak itu bermain dengan name tag yang sudah agak lusuh masih menempel di baju rumah mereka. Sebegitu spesialnya kah? 

Hari ini gue memang mengajar anak-anak. Tapi anak-anak mengajari ku jauh lebih banyak, dan dalam. Gue belajar dari sepotong origami, secuil double sided tape dan seulas senyum anak-anak Borneo. Mengajari ku bahwa meresapi rasa syukur hanyalah bergantung dari cara kita memandang sesuatu. Memandang dari sudut pandang orang yang congkak kah? Dari sudut pandang orang yang serakah kah?  Atau memandang dari sisi hamba-Nya yang datang tanpa membawa apa-apa dan juga akan pulang tanpa membawa apa-apa.

Bersyukur, atas setiap hal kecil yang Tuhan titipkan pada kita.

No comments:

Post a Comment