Tuesday 16 December 2014

Perjalanan Mata Hati: Tikar Plastik

Pagi ini, di kamar kos, gue bangun dengan pegal-pegal di sekujur badan. Sekian jam tidur hanya beralaskan tikar plastik dan sebuah bantal sebagai pemanis, dan penyelamat urat-urat di leher, tentu.

Feeling gue mengatakan, gue harus merecall kejadian itu.

Satu bulan penuh tidur beralas tikar plastik tipis. Tanpa kasur busa. Kasur kapuk. Apalagi kasur pegas. Di atas papan kayu rumah panggung tanggung. Bersusun dengan empat orang lainnya, di ruangan tiga kali tiga. Ditemani berbagai macam serangga dan dingin yang menusuk lumayan dalam. Nyatanya kami kuat, kami terbiasa. Kami tidak apa-apa.

Sederhana, hampir semua orang di desa itu merasakan hal yang sama. Tikar plastik tipis denganwarna warni seadanya,  seharga tiga puluh ribu, di Jakarta. Sembilan puluh ribu, di Kalimantan Utara.

Tidak adil? Memang.
Tapi
       Tetap senang, tetap bahagia.

No comments:

Post a Comment